Ketika Otak dan Bahasa Tidak Sinkron: Gangguan Neuropsikolinguistik pada Anak

Oleh: Vhebe Angela Balkist
Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Selasa, 23 Desember 2025

ppdb2025

“Satu dari sepuluh anak di dunia mengalami gangguan perkembangan bahasa dan bicara.”

Pernyataan tersebut pernah disampaikan World Health Organization (WHO) dalam laporan tumbuh kembang anak. Namun, di balik angka itu, banyak kasus justru tidak pernah terdeteksi. Di sekolah, anak tampak sehat, aktif, bahkan cerdas. Di rumah, ia responsif dan mampu memahami instruksi sederhana. Akan tetapi, ketika diminta mengungkapkan keinginan, perasaan, atau pikirannya, kata-kata seolah tersangkut di kepala.

Kondisi ini kerap membuat orang tua kebingungan. Guru pun sering keliru menilai, menganggap anak kurang percaya diri, manja, atau terlambat dilatih berbicara. Padahal, bisa jadi yang terjadi adalah ketidaksinkronan antara kerja otak dan kemampuan berbahasa—sebuah persoalan neuropsikolinguistik. Istilah ini memang terdengar rumit, tetapi dampaknya sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Gangguan ini muncul ketika sistem saraf otak yang mengatur bahasa tidak bekerja selaras dengan proses kognitif dan psikologis anak. Akibatnya, anak mampu memahami situasi, emosi, dan instruksi, tetapi kesulitan mengomunikasikannya secara lisan. Bukan karena tidak bisa berbicara, melainkan karena tidak mampu menyalurkan pikiran ke dalam bahasa. Sayangnya, kondisi ini sering diabaikan, disalahartikan sebagai masalah perilaku, atau dianggap akan membaik dengan sendirinya. Di sinilah masalah bermula: keterlambatan penanganan sejak dini.

Apa Itu Gangguan Neuropsikolinguistik?

Bahasa sering dipahami sekadar kemampuan berbicara. Padahal, sebelum sebuah kata terucap, terdapat proses kompleks di dalam otak. Kajian neuropsikolinguistik memandang bahasa sebagai hasil kerja sama antara otak, pikiran, dan pengalaman anak.

Secara sederhana, neuro berkaitan dengan otak dan sistem saraf, psiko berhubungan dengan proses berpikir dan memahami, sedangkan linguistik menyangkut bahasa. Ketiganya saling terhubung: otak menerima informasi, pikiran mengolah makna, dan bahasa menjadi jembatan untuk menyampaikannya.

Masalah muncul ketika proses ini tidak berjalan selaras. Anak dapat memahami situasi dan perintah, bahkan menyimpan banyak kosakata, tetapi kesulitan menggunakannya secara tepat. Bukan karena ia enggan berbicara, melainkan karena jalur antara pemahaman dan pengungkapan belum bekerja optimal.

Dalam kondisi ini, perkembangan bahasa anak tidak selalu sejalan dengan usianya. Ada anak yang mampu meniru ucapan orang lain, tetapi kesulitan menyusun kalimat sendiri. Ada pula yang memahami jauh lebih banyak daripada yang mampu diucapkan. Ketika pusat-pusat bahasa di otak belum berfungsi maksimal, bahasa anak berkembang dengan pola yang berbeda dan kerap disalahpahami oleh lingkungan.

Bentuk Gangguan yang Sering Terjadi

Gangguan neuropsikolinguistik hadir dalam berbagai bentuk, sering kali tersamar dalam aktivitas sehari-hari. Anak mungkin tampak mendengarkan dengan saksama dan menatap lawan bicara, tetapi gagal merespons ketika instruksi menjadi lebih panjang atau pertanyaan tidak jelas. Respons yang muncul bisa melenceng, tertunda, atau bahkan tidak muncul sama sekali.

Sebagian anak mengalami kesulitan mengekspresikan diri. Ia memahami keinginan orang dewasa dan menyadari perasaannya sendiri, tetapi tidak mampu mengatakannya. Bahasa tubuh, ekspresi wajah, atau ledakan emosi sering menjadi jalan keluar ketika bahasa lisan tidak memadai.

Ada pula anak yang memiliki banyak kata di kepalanya, tetapi kesulitan merangkainya menjadi kalimat utuh. Ucapannya terputus-putus, melompat-lompat, atau berhenti di tengah kalimat. Bukan karena kehabisan ide, melainkan karena alur pikirnya bergerak lebih cepat daripada kemampuan berbahasanya.

Gangguan juga dapat muncul dalam bentuk respons yang tidak sesuai konteks. Anak menjawab pertanyaan, tetapi jawabannya tidak relevan, meniru ucapan orang lain, atau mengulang kalimat tanpa makna jelas. Anak tampak berbicara, namun pesan yang disampaikan sulit dipahami.

Semua kondisi ini dapat terjadi tanpa gangguan kecerdasan atau mental. Anak tetap mampu bermain, berpikir logis, dan berinteraksi sosial sesuai usianya. Perbedaannya terletak pada cara bahasa bekerja. Sayangnya, ketidaksesuaian ini sering membuat anak dinilai negatif: dianggap tidak fokus, kurang latihan, atau lambat berbicara. Padahal, yang dibutuhkan adalah pemahaman yang lebih mendalam, bukan penilaian.

Dampak Jika Tidak Disadari Sejak Dini

Ketidaksinkronan antara otak dan bahasa yang tidak dikenali sejak awal dapat berdampak luas. Di sekolah, anak mengalami kesulitan akademik bukan karena tidak mampu, melainkan karena bahasa merupakan kunci utama dalam memahami pelajaran.

Hambatan bahasa juga memengaruhi kemampuan bersosialisasi. Anak ingin terlibat, tetapi tidak tahu bagaimana mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Lambat laun, hal ini dapat menurunkan kepercayaan diri.

Lingkungan yang kurang peka sering memberi label keliru: anak dianggap malas, pasif, atau pendiam. Tekanan ini dapat memicu masalah emosional seperti mudah frustrasi atau menarik diri. Bukan karena anak bermasalah, melainkan karena kebutuhannya tidak dipahami.

Peran Orang Tua dan Guru

Langkah awal yang penting adalah membangun komunikasi dua arah. Beri anak waktu untuk berbicara dan merespons, serta dengarkan dengan penuh perhatian. Bahasa berkembang melalui percakapan yang bermakna, bukan sekadar perintah.

Gunakan bahasa yang responsif, bukan mengoreksi secara berlebihan. Beri penguatan dan perluasan makna atas apa yang diucapkan anak, meskipun belum jelas. Dengan begitu, anak belajar bahwa usahanya dihargai.

Membacakan cerita juga menjadi cara sederhana namun efektif. Tidak hanya membaca teks, tetapi juga mendiskusikan tokoh, emosi, dan alur cerita agar anak memahami makna kata dalam konteks.

Penting pula mengamati pola bahasa anak tanpa membandingkannya dengan anak lain. Setiap anak memiliki ritme tumbuh yang berbeda. Perbandingan justru sering menutupi kebutuhan sebenarnya.

Kerja sama antara orang tua dan guru sangat krusial. Berbagi pengamatan, menyamakan pendekatan, dan menjaga konsistensi lingkungan bahasa akan sangat membantu perkembangan anak. Jika hambatan bahasa terus berlanjut, konsultasi dengan profesional menjadi langkah bijak—bukan untuk memberi label, melainkan untuk menemukan pendampingan yang tepat sejak dini.

Mengubah Cara Pandang

Sudah saatnya cara pandang terhadap anak dengan kesulitan berbahasa diubah. Anak bukan tidak mampu; mereka hanya belum mendapat dukungan yang sesuai. Di balik diamnya, ada pikiran yang bekerja dan keinginan yang ingin disampaikan.

Bahasa tidak berkembang dengan ritme yang sama pada setiap anak. Ada yang cepat berbicara, ada pula yang membutuhkan waktu lebih lama untuk merangkai ide. Perbedaan ini bukan kelemahan, melainkan variasi perkembangan.

Empati dan kesabaran menjadi kunci. Ketika orang dewasa berhenti memberi label dan mulai memberi ruang, anak akan merasa aman untuk mencoba, keliru, dan belajar. Rasa ingin tahu, bukan tekanan, yang mendorong pertumbuhan bahasa.

Ketika otak dan bahasa anak tidak bekerja selaras, pemahaman menjadi jembatan terpenting. Bahasa adalah alat untuk menghubungkan pikiran, perasaan, dan dunia sosial anak. Jika jembatan itu rapuh, maka tugas kita—orang tua, guru, dan lingkungan—adalah menguatkannya dengan empati, kesabaran, dan dukungan yang tepat. Karena setiap anak berhak untuk didengar, bahkan sebelum ia mampu mengucapkan kata-katanya dengan sempurna.