Oleh: Risqia Rahmi
Aktivis Dakwah Masyarakat
Selasa, 23 Desember 2025

Pembangunan infrastruktur sejatinya ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Namun, di sejumlah titik di Kota Bekasi, berbagai proyek yang diharapkan mampu mengatasi genangan, memperbaiki jalan, dan meningkatkan kenyamanan warga justru menuai kritik. Mulai dari pemasangan U-ditch yang dinilai asal-asalan, pekerjaan drainase yang tidak mengikuti standar teknis, hingga proyek jalan lingkungan yang lamban diselesaikan.
Berbagai temuan tersebut mengindikasikan adanya persoalan serius dalam tata kelola pembangunan daerah. Sejumlah laporan media mengungkap lemahnya kualitas pengerjaan proyek infrastruktur di Bekasi. Pemasangan U-ditch di beberapa lokasi disorot karena diduga dikerjakan tanpa standar yang memadai serta minim pengawasan dari dinas terkait.
Salah satu temuan terjadi di Jalan RA Kartini, Kelurahan Margahayu, Kecamatan Bekasi Timur, tepatnya di wilayah RT 03. Pemasangan U-ditch precast di lokasi tersebut dilaporkan tidak memenuhi standar teknis, bahkan tanpa dilengkapi papan nama proyek serta perlengkapan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) (zonaintegritas.news, 29/11/2025).
Laporan lain menyebutkan bahwa pekerjaan U-ditch di beberapa titik tidak sesuai spesifikasi teknis sehingga berpotensi tidak berfungsi optimal (kupasfakta.com, 2/12/2025). Sementara itu, proyek drainase senilai Rp1,8 miliar di wilayah Bekasi Jaya diprotes warga karena tanah galian menumpuk di badan jalan serta pemasangan saluran yang dinilai tidak profesional (trawlmediaindonesia.id, 4/12/2025).
Sorotan serupa juga muncul pada pembangunan jalan lingkungan di Desa Karang Rahayu dengan anggaran Rp98 juta. Warga menilai kualitas pekerjaan tidak sebanding dengan nilai anggaran yang digelontorkan (realita.online, 3/12/2025).
Rangkaian temuan tersebut menunjukkan bahwa persoalan pembangunan tidak bersifat sporadis, melainkan terjadi di berbagai proyek dengan pola masalah yang serupa. Hal ini mengindikasikan bahwa kualitas belum menjadi prioritas utama. Proyek seakan dikejar untuk segera selesai demi realisasi anggaran dan pelaporan kinerja, tanpa memperhatikan fungsi jangka panjang. Pengerjaan pada galian yang masih tergenang air atau pemasangan drainase tanpa dasar yang memadai mencerminkan praktik pembangunan yang lebih menitikberatkan pada tampilan fisik daripada manfaat berkelanjutan.
Dalam sistem pemerintahan sekuler-kapitalis, pembangunan kerap ditarik ke ruang politis. Proyek yang berskala besar dan mudah dipublikasikan menjadi fokus utama, sementara kebutuhan riil masyarakat—seperti jalan lingkungan yang layak dan drainase yang berfungsi optimal—justru terpinggirkan. Orientasi pembangunan pun bergeser dari pelayanan publik menjadi sekadar pencapaian administratif.
Dominasi kontraktor swasta tanpa pengawasan ketat semakin memperparah keadaan. Ketika orientasi keuntungan lebih diutamakan daripada pelayanan, kualitas pengerjaan rentan dikorbankan. Negara cenderung berperan sebagai pemberi proyek, bukan sebagai pengendali yang memastikan hasil pembangunan benar-benar bermanfaat bagi masyarakat. Akibatnya, ketika proyek bermasalah, warga menjadi pihak yang paling dirugikan, sementara akuntabilitas pelaksana kerap melemah. Pola ini merupakan karakter khas sistem kapitalisme, di mana negara mundur, swasta dominan, dan rakyat menanggung dampaknya.
Berbeda dengan pandangan Islam. Dalam Islam, pembangunan infrastruktur merupakan amanah negara sebagai pelayan rakyat. Negara berkewajiban memastikan seluruh pelayanan publik, termasuk infrastruktur dasar, dikelola dengan standar terbaik. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya” (QS. An-Nisa: 58).
Pengelolaan anggaran dalam sistem Islam dilakukan melalui Baitul Mal (kas negara), yang seluruh peruntukannya diarahkan untuk kemaslahatan umat, bukan untuk kepentingan politik, pencitraan, atau keuntungan kelompok tertentu. Keberhasilan pembangunan tidak diukur dari banyaknya proyek yang selesai, melainkan dari sejauh mana kebutuhan riil masyarakat terpenuhi. Anggaran publik bahkan tidak boleh menimbulkan mudarat bagi rakyat, sebagaimana firman Allah SWT, “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” (QS. Al-Baqarah: 195).
Dalam sistem Islam, para pejabat dan pelaksana proyek dipandu oleh akidah serta kesadaran bahwa setiap amanah akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan memikulnya dan mereka khawatir akan mengkhianatinya; lalu dipikullah amanat itu oleh manusia” (QS. Al-Ahzab: 72).
Pengawasan tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga moral dan spiritual. Mekanisme ini menjadi benteng kuat terhadap kelalaian, manipulasi mutu, pengkhianatan amanah, dan praktik korupsi, yang diperkuat dengan sanksi syariat yang tegas.
Oleh karena itu, persoalan proyek U-ditch, drainase, dan jalan lingkungan di Bekasi seharusnya menjadi peringatan bahwa pembangunan tidak boleh hanya diukur dari tampilan fisik atau laporan administrasi. Pembangunan adalah pelayanan publik sekaligus amanah yang menuntut integritas, pengawasan, dan orientasi pada kepentingan rakyat.
Kisruh proyek infrastruktur di Bekasi bukan semata persoalan teknis, melainkan cerminan rapuhnya tata kelola pembangunan. Selama paradigma kapitalisme dan sekularisme masih mendominasi—di mana keuntungan dan citra lebih diutamakan daripada kemaslahatan rakyat—masalah serupa berpotensi terus berulang. Islam menawarkan kerangka tata kelola yang memadukan profesionalitas, tanggung jawab moral, dan keadilan agar pembangunan benar-benar menghadirkan manfaat nyata bagi masyarakat, bukan sekadar menjadi angka dalam laporan.



