Aktivis Bekasi: 80 Tahun Merdeka, Tapi Negara Masih Dikuasai Oligarki

LINGKARBEKASI.COM – Ahad, 17 Agustus 2025 — Memasuki usia 80 tahun kemerdekaan, aktivis mahasiswa asal Kota Bekasi, Muhamad Imron, menilai bahwa arah pembangunan Indonesia masih jauh dari tema peringatan HUT RI ke-80: “Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju.”

Menurut Imron, kemerdekaan selama delapan dekade tidak berarti jika kebijakan negara masih lahir dari kepentingan oligarki dan elit kekuasaan. “Kebijakan yang menyengsarakan rakyat dan tidak melibatkan mereka dalam prosesnya hanya akan menumbuhkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah, yang pada akhirnya mengancam stabilitas politik nasional,” ujar Imron.

Ia juga menyoroti kembalinya pola kepemimpinan bergaya neo-Orba yang anti-kritik, penuh nepotisme, dan cenderung merusak tatanan konstitusional. Imbasnya, banyak kepala daerah yang koruptif dan jauh dari kepentingan rakyat.

Salah satu contoh konkret yang dikritiknya adalah respons pemerintah terhadap viralnya bendera anime One Piece, yang dianggap simbol tidak nasionalis. “Ini memperlihatkan bagaimana negara semakin sensitif terhadap kritik, bahkan dari simbol budaya pop yang tidak berbahaya,” katanya.

Kebijakan untuk Kepentingan Kekuasaan

Imron juga menyinggung kebijakan pemerintah yang menurutnya jauh dari kepentingan rakyat, dan justru menjadi alat memperluas kekuasaan dan korupsi. Salah satu contohnya adalah PP No. 25 Tahun 2024 yang memberikan izin usaha pertambangan kepada organisasi kemasyarakatan keagamaan. “Ini seperti memberi kue kekuasaan demi menjaga loyalitas politik,” ujar Imron.

Revisi UU TNI juga dikritiknya karena mencerminkan kembalinya pengaruh militer dalam politik sipil. “Ini berbahaya karena melemahkan peran rakyat dalam proses demokrasi,” tambahnya.

Pati: Simbol Perlawanan dari Daerah

Imron juga mengapresiasi aksi masyarakat Kabupaten Pati yang melakukan perlawanan terhadap kebijakan otoriter di daerahnya. “Pati adalah simbol bahwa rakyat tidak bisa terus dibodohi. Keberhasilan mereka melawan kekuasaan yang anti-kritik menjadi hadiah istimewa di bulan kemerdekaan ini,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa perlawanan seperti ini harus menjadi inspirasi bagi masyarakat lain. “Jika diam adalah ketiadaan, maka perlawanan adalah bentuk kemanusiaan,” pungkas Imron.

Bantar Gebang: Potret Ketidakpedulian Negara

Lebih dekat ke Bekasi, Imron menyoroti kondisi warga di sekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang, yang menurutnya menjadi bukti nyata ketidakpedulian negara terhadap kesejahteraan rakyat.

Berdasarkan data yang dihimpunnya, wilayah Bantar Gebang mencatat ribuan kasus penyakit seperti ISPA (6.502 kasus), diare (1.396 kasus), dan infeksi kulit (1.334 kasus) akibat lingkungan yang buruk, terutama dari polusi asap pembakaran sampah dan air yang tercemar.

“Negara seolah menjadikan warga Bantar Gebang sebagai alat tukar demi pembangunan Kota Bekasi, tanpa mempedulikan hak-hak dasar mereka,” tegasnya.

Menurut Imron, solusi tidak cukup hanya dengan bantuan tunai atau kompensasi bau sampah. “Negara wajib menjamin pendidikan dan kesehatan gratis bagi warga Bantar Gebang tanpa terkecuali. Ini adalah amanat konstitusi,” ujarnya.

Ia menutup pernyataannya dengan kritik tajam: “Delapan puluh tahun kemerdekaan hanyalah kata-kata indah bagi sebagian besar rakyat. Tapi bagi mereka yang tinggal di Bantar Gebang, kemerdekaan belum hadir. Mereka masih dikorbankan atas nama pembangunan.”

Whatsapp Share Post Telegram
Exit mobile version