LINGKARBEKASI.COM. – National Center for Fathering di Amerika Serikat mencatat risiko kurangnya peran ayah dapat menyebabkan kemiskinan naik 4 kali lipat, kematian bayi naik 2 kali lipat, kehamilan di luar nikah naik 7 kali lipat, korban pemerkosaan dan pelecehan seksual naik 9 kali lipat, obesitas naik 2 kali lipat, angka putus sekolah naik 9 kali lipat, konsumsi alcohol dan obat terlarang naik 10 kali lipat, bunuh diri naik 2 kali lipat, perilaku agresif dan kekerasan naik 11 kali lipat dan dipenjara karena berbuat criminal naik 20 kali lipat.
Lalu bagaimana fenomena di Indonesia, catatan KPAI pada Desk Kelompok Kerja Pengaduan memang pengaduan untuk kluster keluarga dan pengasuhan alternatif selalu masuk menjadi angka tertinggi, yang menandakan kekerasan di ranah privat selalu menghadapi hambatan untuk di cegah.
Kita juga tahu angka perceraian termasuk tinggi di Indonesia dan laju angka kelahiran anak 5 juta per tahun. Artinya ini perlu penyangga, memastikan anak anak tetap dengan orang tua. Bahwa angka perceraian yang di sumbang, karena masalah kemiskinan, disfungsi keluarga dan ketidaktahuan mengurus anak, kita berharap dapat dikurangi dengan cuti ayah.
Jadi pentingnya intervensi Negara untuk ikut masuk. Sehingga KPAI sangat mengapresiasi bila Negara melakukan intervensi langsung dengan cuti ayah.
Saya kira dengan cuti ayah, Negara terus bergerak ke arah penyelenggaraan sistem perlindungan anak nasional, dimana intervensi primer lebih di kedepankan, yaitu memperluas dan memperbaharui layanan pencegahan secara umum, sehingga kita berharap ada perubahan perilaku social kedepan, dengan penguatan peran ayah di keluarga.
Salah satu konsen penting dunia, termasuk Indonesia, tentang pencapaian target stunting dan wasting dari Presiden ke Presiden lainnya yang masih terus menjadi target program pembangunan dalam RPJMN tiap 5 tahunan. WHO menegaskan Indonesia belum mencapai target dalam mengatasi masalah ini.
Karena diyakini Negara yang tidak konsen terhadap program ini, generasinya akan terancam di masa produktif. Cuti ayah ini, dapat mengkonsentrasikan pasangan dalam mengawasi kondisi bayi, terutama saat perencanan, jelang dinyatakan hamil, mulai mengkapasitasi diri pada bayi berumur 0 bulan, yang sebenarnya diharapkan ada program sampai 2 tahun atau 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Yang di sebut periode emas tumbuh kembang anak.
Bahwa perubahan yang terjadi pada bumil, mendatangkan ketidaknyamanan yang luar biasa. Sehingga cuti ayah dapat mengurangi dampak mental, emosi, tekanan psikologis, dampak kesendirian bumil membesarkan anaknya dalam kandungan.
Kita juga melihat berbagai kisah tantrum, atau baby blues, yang terjadi pada ibu, yang menyebabkan ancaman dan kerentanan untuk anak. Dengan cuti ayah kita berharap ada peran kuat, kohesi, bounding yang dilakukan ayah, dengan ikut mengendong, memandikan, mengganti popok bayi, bangun malam dalam ikut mendukung tumbuh kembang.
Kita berharap dengan cuti ayah, disfungsi keluarga dapat dikurangi; karena ini menjadi sumber pemicu kekerasan anak di dalam keluarga, akibat tidak ikut proses bersama sejak awal. Kita ingin cuti ayah ini, benar benar dibuat skema program terarah, karena ini adalah cuti dalam tanggungan Negara, sehingga dapat mengatasi masalah ketelantaran bayi. Kita ingin ada bounding dan kohesi yang di bentuk sejak awal, sehingga ada penanaman rasa tanggung jawab lebih.
Adanya cuti ayah, seperti membayar hutang peradaban, pada fenomena kekerasan anak yang terus meningkat. Dalam mengkoreksi kebiasaan kita sebagai orang tua. Karena berkeluarga dan mengasuh anak adalah ilmu turun menurun, yang jarang bisa di kritisi. Selalu mengikuti pola lama.
Oleh: Jasra Putra