Kenapa Anak Indonesia Lebih Berani Mengetik daripada Bicara?

Oleh: Nadini Az Zahra Mahasiswi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Di grup WhatsApp kelas atau kolom komentar media sosial, anak-anak Indonesia kerap terdengar sangat vokal. Mereka berani mengoreksi, menyanggah, bahkan berdebat panjang. Namun pemandangan itu sering tidak berlanjut di ruang kelas atau forum tatap muka. Saat diminta angkat tangan dan bicara, suasana mendadak hening. Banyak yang memilih menunduk, berharap giliran tidak jatuh pada mereka.

Fenomena ini kerap disederhanakan sebagai dampak gawai atau menurunnya kepercayaan diri generasi muda. Anak sekarang, kata sebagian orang, terlalu nyaman bersembunyi di balik layar. Namun penjelasan itu terasa kurang adil. Keberanian mereka tidak benar-benar hilang; ia hanya berpindah medium.

Dalam perspektif psikolinguistik, berbicara dan mengetik bukanlah dua aktivitas yang setara. Keduanya diproses otak dengan cara berbeda. Saat berbicara, otak bekerja cepat dan simultan. Pikiran harus segera diubah menjadi kata, dirangkai menjadi kalimat, sembari membaca reaksi lawan bicara. Hampir tidak ada waktu untuk berpikir, dan kesalahan yang terucap tak bisa ditarik kembali.

Mengetik menawarkan pengalaman yang berbeda. Ada jeda untuk menyusun pikiran, memilih kata, menghapus kalimat yang terasa kurang tepat, lalu menulis ulang. Proses berbahasa menjadi lebih terkendali. Di ruang ini, banyak anak merasa lebih aman—bukan karena mereka lebih pintar saat mengetik, melainkan karena risiko sosialnya lebih kecil.

Berbicara selalu membawa potensi penilaian langsung. Salah ucap bisa dikoreksi di depan umum. Jawaban yang dianggap kurang tepat bisa memancing tawa atau komentar. Dalam budaya belajar yang masih sering menempatkan kesalahan sebagai aib, bicara menjadi aktivitas berisiko. Otak pun belajar satu hal sederhana: diam lebih aman.

Sebaliknya, ruang digital jarang memberi tekanan semacam itu. Tidak ada tatapan langsung, tidak ada reaksi spontan yang memotong pembicaraan. Jika ragu, seseorang bisa berhenti mengetik. Jika salah, kalimat dapat diedit. Rasa aman inilah yang membuat anak-anak tampak lebih berani dan ekspresif di dunia digital.

Masalahnya, dunia pendidikan belum sepenuhnya menyadari perbedaan ini. Kelas masih kerap diatur dengan logika “siapa cepat, dia dapat”. Siapa salah, langsung dikoreksi. Anak yang lancar bicara dianggap pintar, sementara yang diam kerap dicap pasif. Padahal, dalam psikolinguistik, diam tidak selalu berarti kosong. Ia bisa menjadi tanda proses berpikir yang sedang berlangsung.

Banyak anak sebenarnya tengah menyusun argumen di kepala, menimbang kata, lalu memilih tidak mengucapkannya karena takut salah. Mereka bukan tidak tahu, tetapi terlalu sadar akan risiko. Lama-kelamaan, kebiasaan ini membentuk pola: bahasa lisan terasa menegangkan, bahasa tulis terasa aman.

Apakah ini berarti kemampuan bicara anak Indonesia menurun? Tidak sesederhana itu. Yang terjadi lebih tepat disebut ketimpangan ruang latihan. Anak-anak lebih sering diberi ruang aman untuk menulis daripada untuk berbicara. Akibatnya, keberanian lisan tidak sempat tumbuh.

Jika kita ingin anak-anak lebih berani bersuara, solusinya bukan dengan memaksa mereka bicara. Memanggil nama, menekan dengan nilai, atau mempermalukan kesalahan justru memperkuat kecemasan. Yang dibutuhkan adalah ruang bicara yang ramah: ruang yang memberi waktu berpikir, menganggap salah sebagai bagian dari belajar, dan menghargai proses lebih dari kecepatan.

Mengetik dan berbicara seharusnya tidak dipertentangkan. Keduanya dapat saling menguatkan. Tulisan bisa menjadi jembatan menuju keberanian bicara, bukan penggantinya.

Barangkali persoalannya bukan pada anak-anak yang terlalu nyaman mengetik, melainkan pada ruang bicara yang terlalu sering membuat mereka takut salah. Jika kita ingin mereka berani bersuara, mungkin yang perlu dibenahi bukan keberanian mereka, melainkan cara kita mendengarkan.

Whatsapp Share Post Telegram
Exit mobile version