Mengapa Kita Lancar Berbicara dengan Teman, tetapi Gugup di Depan Kelas?

Oleh: Naila Tuniam
Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Selasa, 23 Desember 2025

 

Pernahkah kita merasa sangat lancar berbicara saat mengobrol dengan teman, tetapi tiba-tiba kehilangan kata-kata ketika harus presentasi atau berbicara di depan kelas? Lidah mendadak kaku, pikiran kosong, dan suara bergetar. Padahal bahasa yang digunakan sama, bahkan orang-orang yang dihadapi pun tidak jauh berbeda. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi?

Banyak orang mengira persoalan ini berkaitan dengan kemampuan berbicara. Mereka merasa tidak pandai menyusun kata atau kurang cakap berbahasa. Namun, jika ditinjau dari sudut pandang psikolinguistik, persoalannya sering kali bukan terletak pada kemampuan bahasa, melainkan pada kondisi psikologis saat bahasa itu digunakan.

Bahasa dan Tekanan Psikologis

Saat berbicara dengan teman, otak berada dalam kondisi rileks. Tidak ada kekhawatiran berlebihan terhadap penilaian orang lain. Bahasa diproduksi secara refleks dan spontan tanpa harus memikirkan apakah kalimat yang diucapkan sudah benar atau terdengar pantas. Karena minim tekanan, proses berbahasa pun berjalan lancar.

Sebaliknya, ketika berbicara di depan kelas, otak bekerja lebih berat. Muncul tekanan sosial seperti takut salah, takut ditertawakan, atau takut dinilai tidak cerdas. Tekanan ini meningkatkan beban kognitif karena otak harus membagi perhatian antara isi pesan dan cara penyampaiannya agar sesuai dengan kaidah yang dianggap benar.

Akibatnya, proses berbahasa menjadi tersendat. Rasa gugup yang kerap muncul dalam situasi formal sering dianggap sebagai persoalan mental semata. Padahal, kondisi emosional tersebut berdampak langsung pada proses linguistik, seperti akses kosakata dan penyusunan kalimat. Inilah sebabnya seseorang yang sebenarnya memahami materi dengan baik tetap bisa terbata-bata ketika harus berbicara di depan banyak orang.

Fenomena ini juga menjelaskan mengapa banyak siswa lebih aktif berdiskusi di luar kelas dibandingkan saat pembelajaran berlangsung. Lingkungan yang terlalu formal dan minim ruang aman justru dapat menghambat ekspresi bahasa secara optimal.

Bahasa Formal dan Nonformal

Penggunaan bahasa di depan kelas umumnya dituntut sistematis, baku, dan minim kesalahan. Sementara itu, bahasa yang digunakan bersama teman bersifat lebih fleksibel dan toleran terhadap kekeliruan. Secara alamiah, otak manusia lebih nyaman dengan situasi berbahasa yang tidak dibebani tekanan normatif. Ketika kesalahan dianggap wajar, produksi bahasa justru mengalir lebih baik.

Kondisi ini patut menjadi bahan refleksi, terutama dalam dunia pendidikan. Jika ingin peserta didik berani berbicara, berpendapat, dan berpikir kritis, yang perlu dibangun bukan hanya kemampuan akademik, tetapi juga iklim berbahasa yang aman dan mendukung.

Ruang belajar seharusnya menumbuhkan keberanian, bukan menambah ketakutan. Jika siswa diharapkan lebih aktif berbicara, barangkali yang perlu diubah bukan hanya metode mengajar, melainkan juga iklim komunikasi di kelas. Bahasa seharusnya menjadi alat ekspresi, bukan sumber kecemasan. Sebab, pada akhirnya, kelancaran berbicara sering kali bukan soal mampu atau tidak mampu, melainkan soal rasa aman. Ketika seseorang merasa nyaman, bahasa akan menemukan jalannya sendiri.

Whatsapp Share Post Telegram
Exit mobile version